Bila kalian pernah berkunjung ke Mesjid Kampus, yang letaknya tak jauh dari gedung Fakultas Kedokteran UNLAM Banjarbaru, cobalah perhatikan. Kalian akan menemui sosok-sosok perempuan dengan jilbab yang lebar. Kemudian akan terlihat pula kumpulan lelaki yang duduk bersila dan tampak serius, beberapa dari mereka ada yang berjanggut, maka aku adalah salah satu dari kumpulan lelaki yang biasa disebut ikhwan, sebutan yang aku rasa telah mengalami penyempitan.
***
“Tidak bisa! Silakan kamu keluar!”
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Aku yang sedari tadi duduk kaku menahan gugup, takut, penuh harapan, kini seolah tak dapat berbuat apa-apa. “Ya Rabb tolong hamba.” batinku. Kukumpulkan kembali puing-puing semangat dan keberanian.
“Maaf sebelumnya Pak, apakah Bapak masih bisa mempertimbang…”
“Cukup!”
Tak sempat kuselesaikan, Pak Nurdin begitu cepat mengambil alih kendali.
“Saya tidak setuju dengan alasan Pendidikan Agama sudah termasuk mata kuliah yang wajib diambil setiap mahasiswa. Kalau kalian ingin membuat kajian Islam intensif umum yang sifatnya wajib untuk mahasiswa muslim, itu sama saja mubazir!” lontar Pak Nurdin lantang.
“Baik Pak, terima kasih.” jawabku singkat. Jujur,aku malas berdebat dengan beliau. Posisi beliau yang tercatat penting membuat aku enggan seolah tak ingin mencari masalah.
“Silakan kalian membuat kajian seperti itu. Toh selama ini, saya tidak pernah kan melarang kajian Islam yang diadakan KSI. Perlu ditekankan, kajian Islam itu sifatnya wajib untuk yang anggota KSI saja. Kecuali semua mahasiswa di kampus ini anggota KSI, baru saya ijinkan. Ha ha ha ha. Dipikir semua orang suka apa ikut kajian. Sana keluar! Saya sibuk.” ucap beliau sembari tersenyum sinis.
“Iya Pak. Assalamu`alaikum.” kuucapkan salam sembari keluar dari ruangan ber-AC ini.
***
“Hei. Akh Rija…”
Sayup-sayup kudengar ada yang memanggil namaku. Pasti seorang Ikhwan. Jelas saja, dia memanggil dengan sebutan Akh. Sebutan yang seolah hanya milik kelompok Ikhwan saja. Mahasiswa biasa yang bukan aktivis, seakan tak berhak menyandang gelar Akhi Ukhti. “Ck ck ck ck. Salah besar.” gumamku.
“Assalamu`alaikum.” salam seseorang sambil menepuk pundakku.
“Wa`alaikumussalam.” jawabku sambil menoleh. “Akh Fariz. Yang tadi memanggil ya? Afwan akh.”
“Santailah. Ada apa Akh? Nampaknya antum begitu lesu?”
“Begini akh, proker kaderisasi ana, kajian Islam intensif umum yang ana usulkan wajib dan dimasukkan dalam mata kuliah Agama, ternyata tidak disetujui oleh Pak Nurdin.”
“Inna lillah. Sabarlah Akh, Kita pasti akan berhadapan dengan beragam cobaan sebagaimana para dai generasi sebelumnya sejak Rasulullah . Kader dakwah harus tegar Akh dalam menghadapi ini semua.”
“Subhanallah. Luar biasa akh. Ana bersyukur punya saudara seperti antum. Syukron Akh.”
“Afwan. Inilah pentingnya kekuatan ukhuwah Akh. Oh iya, di Masjid Kampus sore ini ada kajian dengan Ustadz Rachman tentang Al Ghozwul Fikri. Datang ya Akh!”
“Insya Allah, nanti ana jarkomkan juga ke tiap angkatan Akh.”
“Sip.”
***
Jika kebetulan kalian bertanya kepada setiap mahasiswa di Kampus ini, bisa dipastikan jika mereka pasti selalu menerima jarkom sms terkait kajian yang diadakan Kelompok Studi Islam (KSI). Tapi, bisa dipastikan jika hanya 1 atau 2 bahkan mungkin tidak ada mahasiswa Muslim di luar anggota KSI yang mau berhadir. Hingga akhirnya terciptalah sebutan 4L (Loe Lagi Loe Lagi) untuk mereka para Ikhwan dan Akhwat yang rutin datang. Fenomena ini bukan rekaan, murni tanpa skenario.
***
Kulangkahkan kaki memasuki masjid kampus.
Sungguh sejuk mesjid ini. Angin sepoi-sepoi berembus, membuat aku lupa akan kejadian tadi pagi. Dengan saksama kudengarkan ceramah oleh Ustadz Rachman.
“Ikhwah Fillah, Al Ghozwul Fikri artinya perang pemikiran. Metodenya sekarang adalah 3F, Food, Fashion, dan Fun. Berhati-hatilah wahai Ikhwah Fillah.”
“Luar biasa usatadz ini.” batinku.
Tak terasa waktu menunjukkan pukul 18.00 WITA, kajian pun berakhir.
Kunyalakan mesin motorku. Kutancap gas menuju rumah kontrakan yang letaknya cukup jauh dari kampusku. Di tengah perjalanan, aku berpapasan dengan seorang lelaki tua yang bersepeda di pinggir jalan. Kuturunkan kecepatan hingga 20 km/jam. Kulihat lewat spion, siapakah lelaki itu, rasa-rasanya aku kenal. Benar saja. Pak Jarno rupanya, satpam yang biasa bertugas membuka dan menutup seluruh gedung di Kampus, pernah juga kulihat beliau membersihkan ruangan. Kemudian aku berlalu, moodku enggan menegur beliau.
***
”Baiklah kita akhiri majelis ilmu ini dengan mengucap hamdalah, istighfar, dan doa kifaratul majelis”
“Subhaanakalloohumma wa bihamdika ayhadu allaa ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuubuilaik”
Tiba-tiba seorang akhwat mengagetkanku. “Akh, kami ijin duluan soalnya takut pulangnya magrib.”
“Tafadhol Ukh.” jawabku tegas.
Satu per satu ikhwah meninggalkan ruangan. Aku tertinggal sendiri karena harus menyelesaikan amanah sebagai koor perlengkapan. Dengan sigap kurapikan kursi-kursi, kusimpan LCD dan laptop, kumatikan AC, kemudian aku beranjak keluar. Alangkah terkejutnya saat aku berpaling usai menutup pintu.
“Pak Jarno.” spontan aku menyapa.
“Udah selesai nak acaranya?” sahut Pak Jarno.
“Alhamdulillah sudah Pak.”
“AC dan kursi di dalam?”
“Oh, sudah Pak tadi saya bereskan.”
Pak Jarno sejenak diam. Kemudian berkata “Makasih nak, Bapak udah dibantu.”
“Wah, Bapak ini kayak apa aja, memang sudah tugas saya Pak. He he he.”
“Enggak nak, ini memang menjadi tugas saya.” Pak Jarno tersenyum.
Ku balas senyum beliau. Kemudian aku teringat, ada sisa konsumsi 1 nasi kotak. Kuserahkan saja kepada beliau pikirku.
“Ini buat bapak.”
“Wah gak usah repot-repot, buat kamu aja.”
“Ambillah Pak, ini rezeki untuk Bapak.”
Pak Jarno langsung mengambil seraya berkata “Makasih Nak. Boleh aku tahu siapa namamu?”
“Saya Rija, Pak”
Itulah sekilas perkenalan dengan Pak Jarno. Bukan siapa-siapa. Bukan orang istimewa setingkat Pak Nurdin. Namun sejak saat itu, tiap kali kami berpapasan, selalu saling tegur dan sapa. Parah juga, aku yang sudah hampir 2 tahun di kampus ini, baru sekarang berkenalan dengan beliau.
***
Sore hari, seusai pulang Syuro. Aku bermaksud mengambil titipan di pos satpam. Ada Pak Jarno tentunya. Tiba-tiba beliau langsung bertanya.
“Ja, boleh bapak nanya sesuatu?”
Sontak aku kaget. Kali ini Pak Jarno begitu serius. “Iya Pak, silakan.” jawabku.
“Nak, bapak percaya kalau kamu bukan pengikut aliran macam-macam dan sebagainya. Iya kan?”
Deg. Penyataan sekaligus pertanyaan ini seolah menghantam dadaku.
“Eh, iya pak, memangnya ada apa Pak?” aku balik bertanya.
“Entah mengapa nak, ada saja yang berpikiran negatif dengan aktivitas kalian. Mungkin.., karena kalian nampak begitu sibuk dengan berbagai aktivitas.”
“Begini Pak, insya Allah yang kami lakukan ini murni untuk menolong Agama Allah, menegakkan syariat untuk mewujudkan kampus serta masyarakat yang madani, Pak.” tuturku singkat.
***
Kini aku lebih akrab dengan Pak Jarno dan beberapa satpam serta cleaning service lainnya. Dari merekalah, aku mengetahui unek-unek mereka selama ini dengan mahasiswa. Kekesalan saat ada beberapa mahasiswa yang kurang bertanggung jawab, berbicara kurang sopan, kadang suka memerintah, dan selalu minta dilayani. Termasuk beberapa pandangan mereka mengenai aktivis kampus.
“Kalau menurut bapak, aktivis itu memang terlihat eksklusif di mata masyarakat. Wong penampilannya saja udah sangat beda. Yang laki kumpulnya sama laki, yang wanitanya gak mau kalau berjabat tangan dengan laki-laki.” Pak Jarno berurai panjang lebar.
“Saya minta maaf sebelumnya Pak. Untuk soal pakaian atau mungkin tingkah laku kami selama ini. Bukannya kami ingin tampil berbeda dengan orang kebanyakan Pak, tetapi apa yang kami lakukan ini semata-mata memang sudah kewajiban yang tercantum di dalam Al-Qur`an.” tanggapku dengan lembut.
“Iya nak, untuk itu bapak setuju. Gini aja pesan Bapak…” Pak Jarno sesaat terdiam.
“Cobalah sedikit lebih peka nak!”
Jlebbb. Aku terdiam. Sungguh dalam kata-kata beliau.
Hening sejenak.
Tiba-tiba selintas ide muncul, berputar-putar dibenakku.
***
# ide apakah itu? karena cerpennya gak menang, jadinya gak dilanjutin deh, biar pembaca penasaran, hahaha :D
mantabbb ka :D
BalasHapushehehe. itu cerpen setelah kk baca dn cermati ulang benerbener gaje rin --"
BalasHapusahaha, tapi meaningful kok ka :)
BalasHapus