Sabtu, 30 Juli 2011

Penyesalanku (Cerpen Putih Abu-Abu, ditulis kelas 2 SMA, saat masih labil :D )

“Lika, ayo kita tangkap kupu-kupu itu sama-sama, kalau sama-sama kan kupu-kupunya gampang ditangkap !”
“Lina…”
“Kenapa Lika ? Kamu kok jadi diam kaya gitu ?”
“Aku takut Lina kalau kamu ninggalin aku sendili sepelti kupu-kupu yang telbang jauh itu.”
“Aku gak akan ninggalin kamu Lika, kalena kita sahabat selamanya!”
“Benal ! Kita sahabat se..la..ma..nya..!”
***
9 tahun kemudian.
Kenangan itu seolah tiada arti bagiku. Rajutan keceriaan dalam bingkai kasih sayang kini telah berganti menjadi rajutan amarah dalam bingkai dendam. Dendam yang amat mendalam.
“Oh Tuhan! Aku tau ini salah, tapi aku hanyalah makhluk biasa yang luka jikalau hati ini diiris sembilu, terlebih sembilu itu adalah…” rintihku dalam heningnya malam.
***
“Rika… bangun…ini sudah jam 5.”
Teriakan mama membangunkanku dari peraduan malamku. Namun aku seolah tak berkutik, enggan untuk bangkit rasanya.
“Mengapa? Mengapa harus ada pagi yang selalu memaksaku bangun untuk pergi ke sekolah dan bertemu dengan…Mengapa harus ada Rina?” batinku.
Aku dan Rina. Kami adalah dua sahabat yang tak dapat terpisahkan. TK, SD, dan SMP kami pun sama. Tak hanya itu, kami juga selalu berada dalam kelas yang sama bahkan meja yang sama pula. Dimana ada aku disitu ada Rina, begitu pula sebaliknya. Kami selalu berdua dan bersama dalam mengenal dunia, dunia yang pada akhirnya membuat kami jatuh dalam jurang amarah.
***

SMAN I Banjarbaru.
Pagi ini sekolah tersebut begitu ramai, penuh canda , tawa, dan haru semua murid. Rasa yang seketika berbaur ketika mereka tak bertemu setengah bulan lamanya. Namun tidak bagi aku dan Rina. Sesaat ketika kami bertemu, tiada canda dan tawa bahkan haru, hanya tatapan sinis penuh amarah dan kebencian yang mempertemukan kami.
“Hai Rika! Lama nih gak ketemu gimana kabar elo? O ya Rik, gue denger katanya elo sekelas lagi ya sama Rina ?” sapa Dea. Dea adalah teman baruku sejak aku masuk di sekolah ini. Sejak di SMA, teman-temanku memang bertambah. Namun, sejak di SMA pula hubunganku dengan Rina mulai retak bahkan kini telah hancur lebur. SMA memang lain.
“Eh Dea ! Apa kabar ? Kalau gue sih kayanya kurang baik nih soalnya…ya karena yang elo bilang tadi, gue emang sekelas sama si gombal itu, aduh bo cape deh!”
“Udah deh Rik, gak usah dibawa cape, lagian elonya juga sih yang ngotot mau masuk alam segala, udah tau kalau si Rina itu juga pengen masuk alam.”
Sejenak aku berpikir, aku dan Rina memang punya selera sama, kami begitu senang dengan pelajaran IPA sejak duduk di bangku SD, kami pun sama hebatnya dalam pelajaran itu. Maka tak heran jika akhirnya kami memilih jurusan yang sama.
“Rik, ngapain lo bengong! Udah masukan tuh.”
“Hah…”
***
Suasana kelas begitu ramai. Penuh canda dan tawa dari orang-orang yang belum aku kenal. Tak ku sangka saat aku menoleh, Rina tepat berada di sampingku dengan amplop coklat di tangannya serta tatapan sinis.
“Rik ni buat lo!” Plak!!! Rina memukulkan amplop itu ke mejaku dan langsung pergi berlalu. Sungguh kebencian yang dalam. Kuambil amlop itu dan kumasukkan ke dalam tasku, tak berani aku membukanya sekarang.
“Selamat pagi anak-anak!”sapa Bu Titin.
“Selamat pagi bu…” balas semua murid alam 1.
“Anak-anak, sebelumnya ibu ingin memberitahu bahwa mulai sekarang ibu telah ditunjuk untuk menjadi wali kelas kalian.”
“Hore………………” sambut seisi murid gembira.
Bu Titin, beliau sudah dikenal sejak di kelas 10 sebagai guru biologi. Pembawaannya yang tenang, penjelasan yang begitu ramah dan mudah dimengerti serta senyum yang tak pernah lepas dari wajah beliau. Selain itu, beliau dikenal sangat sabar dalam menghadapi murid-muridnya, tiada rasa marah apalagi dendam sedikit pun. Sungguh berbeda dengan aku anak muridnya.
***
Hujan lebat semakin mencekam malamku. Kali ini aku beranikan diri untuk membuka amplop yang diberikan Rina tadi pagi. “Bismillah...”.
“Oh…Tuhan!”
Isi amplop itu semakin mencekam malamku. Malam yang penuh dengan dendam dan kebencian.
***
“Halo, bisa bicara dengan Dea?”
“Maaf, Deanya sudah tidur.”
“Halo, bisa bicara dengan Rani ?”
“Maaf, tidak ada yang namanya Rani di sini.”
“Halo, bisa bicara dengan Fitri?”
“Fitrinya lagi jalan.”
“… … …”
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan cobalah sesaat lagi.”
Kesal, tak satu pun teman yang dapat kuhubungi, hanya diriku sendirilah tempat aku menumpahkan semua kekesalanku. Bagaimana tidak, amplop itu berisikan foto-fotoku dan Rina semasa kecil yang telah dirobek-robek Rina, tanda bahwa diantara kami berdua seolah tiada pernah ada kata persahabatan.
***
“Tidakkkkkkkkkkkkkkk!!!!!!!”
“Rika…ada apa sayang? Rika tenang!”
“Ha…..” Ku tarik napas dalam-dalam sembari menegak air yang mama bawa.
“Rika,kamu tidak apa-apa sayang ?” kata mama sembari mengelus kepalaku.
“Gak apa-apa kok ma, cuma mimpi buruk aja.”
“Makanya, sebelum tidur kamu harus berdoa dulu ! Baiklah, kalau memang kamu tidak apa-apa, mama tinggal dulu ya…Selamat tidur sayang!”
Kucoba memejamkan mata, namun tak bisa. Mimpi itu selalu terlintas di benakku. Mimpi jatuh ke jurang sementara Rina hanya tersenyum-senyum saja melihat aku jatuh. “Oh Tuhan! Apa arti semua ini?” batinku.
Sesaat aku teringat saat aku mulai bertengkar dengan Rina, hanya karena seorang cowok. Namanya Rio, dia adalah ketua MPK sekaligus kapten tim basket Smansa. Rina sangat menyukai Rio dan berusaha untuk mendapatkannya, tapi ternyata Rio tidak suka dengan Rina. Rio lebih memilih aku. Aku pun tak dapat menolak ketika dia memintaku untuk jadi ceweknya tepat di hari valentine. Rina begitu marah padaku, dia memintaku untuk memilih antara dia dan Rio, artinya kalau aku memilih dia maka aku harus memutuskan Rio. Tentu aku memilih Rio, soalnya ni cowok keren banget. Tapi sayang, setelah sebulan kami pacaran, dia mutusin aku gara-gara mau pindah sekolah ke London, mau nyari bule kali…
Tak hanya itu, pertengkaran kami pun mulai menjadi-jadi, masalah yang begitu sepele pun sudah terlalu sering kami jadikan bahan untuk bertengkar. Yang jelas, mulai saat itu, tiada hari tanpa bertengkar bagi aku dan Rina.
***
Jumat yang membosankan. Apalagi hari ini giliran kelas 11 untuk senam pagi.
“ Rika…………” panggil Dea, Fitri, Rani, dan Nova bersamaan.
“Heiii………….” balasku.
“Rik, yo kita baris bareng di lapangan, udah mau senam nih!” ajak Rani.
Kami pun mulai berjalan ke lapangan, kulihat sudah ada Rina disana bersama teman-teman ganknya. “Puih…”
Brukkk!!!
“Aduh…sakit…” rintihku. Aku terjatuh tepat di depan Rina.
“Rika…kamu gak papa kan..?” Spontan temanku yang lain menolong.
“Rina! Kamu kan tadi yang merentangkan kaki saat Rika lewat, makanya dia jatuh, kamu sengaja kan?” tukas Dea.
“Hah!” Aku terkejut. Kutatap Rina yang hanya tersenyum sinis. Jadi, sekarang dia sudah berani bermain tubuh untuk bertengkar denganku. Darahku seketika naik dan sejurus kemudian.
Plakkk!!!
Panas, pipi Rina terasa panas. Tubuhnya hampir saja jatuh ketika tamparanku mendarat di pipinya. Merah…ia mengusap pipinya. Ada darah yang mengucur dari bibirnya. Ia meringis.
“Darah..?” ucapnya panik. Semua terkesima. Aku menampar Rina ?
“Jaga ya mulut ama tindakan lo itu! Gak semua orang bisa sabar kayak gue!” tukasku ketus. Mata Rina panas. Ia menangis.
***
Semenjak kejadian itu, Rina tak pernah lagi berani menantangku. Aku puas. Meskipun sekelas, kami tak pernah bertatap muka apalagi saling bicara. Mata kami seolah buta dan mulut kami seolah bisu. Bahkan yang paling parah, hati kami benar benar telah tertutup, tertutup untuk saling memaafkan. Menyedihkan .
“Rika…kayaknya hidup lo tuh gak bakalan tenang deh kalo elo masih aja berantem ama Rina.” nasihat Nova.
“Iya Rik, gue heran ama elo, bisa-bisanya elo tenang, kalo gue jadi elo udah masuk RSJ kali gue.” sambung Fitri.
“Eh, gini aja gimana kalo kita masukin pertengkarannya Rika ama Rina ke dalam rekor MURI sebagai pertengkaran yang lu…a…ma… dan dah…syat…banget….!” cetus Dea.
“Ah udah deh lo lo itu, semuanya gak ada yang bener, yang bener Rika itu harus minta maaf duluan ama Rina, perkara diterima atau kagak ya gak masalah yang penting dosa lu kan ilang, gitu…..” sahut Rani.
“Apa?????” aku terperanjat.
“Eh, gue tuh gak akan mau minta maaf duluan, dimana harga diri gua ditaruh, lagian harusnya tuh Rina yang minta maaf ama gue, Iiiihhhhhh…amit-amit deh gue.”
Seketika aku pergi meninggalkan teman-temanku di kantin sekolah. Mereka memang sering menasihati agar aku baikan ama Rina. Tapi…aku telah kehilangan kunci untuk membuka pintu hatiku dan meredam bara yang ada di sana.
***
“Hai Rika…” sapa Zia. Zia adalah teman se-gank-nya Rina.
“Hai…tumben lo negur.” balasku.
“Gak papa kok…cuman mau bilang kalau Rina baru aja jadian ama…”
“Sama siapa?”
“Sama Aldi.”
“Apa…Rina jadian ama Aldi???” dalam hati aku berkata.
Aldi adalah teman kami waktu masih SD. Dulu, aku dan Rina sering banget ngisengin Aldi soalnya dia tuh anaknya cengeng banget. Tapi sekarang, Aldi tuh berubah 360 derajat. Dia tambah ganteng dan gagah. Ada hati sih… sama Aldi, apalagi pas habis diputusin ama Rio. Tapi…gak nyangka deh, sedih ada juga kalau ternyata dia tuh beneran jadian ama Rina. ”Iiiiiiiiiiihhhhhhhhhhhhh!”
***
Teng…teng…teng…
Lonceng berbunyi tiga kali, tanda bahwa semua siswa Smansa udah bebas dari sekolah. Aku berjalan ke pintu gerbang untuk menemui jemputanku. Tapi… aku melihat Rina di parkiran motor ama Aldi, kayanya sih mereka mau pulang bareng. Jadi mereka…
“Rina !” spontan aku memanggil Rina. Baru kali ini aku memanggil namanya.
Rina menoleh dan berjalan ke arahku.
“Ada apa Rik?” tanyanya.
“Rin, gue mau bil…”
Rina menutup mulutku dengan tangannya.
“Jangan di sini Rik! Di sana aja! Lebih sepi.”
Rina mengajakku untuk berbicara di tempat yeng lebih sepi. Mungkin dia mengerti kalau aku bakalan ribut dengannya.
“Rin, elo tuh udah banyak bikin gue sakit hati dan kecewa. Gue gak tahan ama semua sikap elo ke gue. Gue gak bisa sabar Rin. Jadi, kalo elo gak mau gue ngamuk untuk yang kedua kalinya, mendingan elo tinggalin Aldi. Gue cemburu Rin, karena gue juga suka ama Aldi.”
“Tapi Rik…”
Kali ini aku yang menutup mulut Rina.
“TESERAH!!!” cetusku sinis.
***
Dalam perjalanan pulang, aku tiada henti-hentinya memikirkan Rina. Jujur, aku begitu kesal dengannya. Namun, sejenak aku berpikir mengapa harus ada permusuhan diantara kami. Lantas, apa gunanya persabatan yang sudah kami rajut bertahun-tahun?
Kuambil ponselku, waktu tepat menunjukkan pukul 3 siang. Aha! Seketika aku mendapat ide. Ide gila yang tak pernah mau aku pikirkan akibatnya.
Di ponselku kukirim sebuah pesan singkat yang berbunyi “Aku gak tau untuk apa Tuhan nyiptain kamu ke dunia ini dan mempertemukan kamu dengan aku. Tapi, menurutku kamu gak ada manfaatnya untukku, malah menyulitkan aku . Jadi, kenapa kamu gak pergi jauh aja dari aku untuk se…la…ma…nya…? seolah-olah kamu adalah kupu-kupu.
***
Sesampai di rumah, mama langsung memanggilku. “Rika…ada telepon untukmu.”
Kuambil ganggang telepon di tangan mama. “Halo…”
“Ri…ka… hiks...hiks..”
“Dea? Lo kenapa, pake acara nangis lagi ?”
“Hiks…hiks… Ri..Ri..”
“Dea…kalo ngomong yang benar dong…”
“Rina…Rik ! Rina…”
“Rina? Ngapain lo nangisin dia ?”
“Rina udah ma…”
“O…gue juga udah tau Dea, kalo Rina macarin Aldi, kok elo yang sedih sih, jangan-jangan lo suka lagi ama Aldi.”
“Ri…na.. . m…a…t…i…”
“????????????????????”
***
“Hiks…hiks…hiks…”
Aku tak mampu berkata-kata lagi. Aku bingung…Mengapa aku begitu egois, kejam, emosi dan dendam.
“Maafkan aku Rin…Aku yang... Hiks..hiks..hiks..”
Kabar terakhir yang aku dengar, Rina langsung mutusin Aldi, mereka bertengkar hebat, Aldi gak mau kehilangan Rina, sementara Rina gak mau kehilangan aku.
Rina mati karena tertabrak truk yang melintas saat dia menyebrang jalan. Menurut teman-teman yang melihat kejadian itu, saat hendak menyebrang ,Rina sempat membuka ponselnya, kemudian dia menyebrang sambil melamun memikirkan sesuatu. Memikirkan…
”Hiks…hiks…” Memikirkan pesan singkat yang kutulis untuknya…
“Maafkan aku Rina…”
Betapa bodohnya aku. Aku egois… hanya karena masalah sesepele itu, aku rela mengorbankan sahabatku, sahabat yang selalu menemaniku untuk mengenal dunia yang fana ini.
Sekarang, hanya penyesalan yang menemani hidupku. Sesal! Sesal yang amat mendalam. Namun, kejadian ini membuat bara di dalam hatiku meredam setelah aku meneteskan air mata kasih sayang.
“Selamat jalan… s…a…h…a…b…a…t”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar